Idul Adha Tanpa Daging, Tak Lengkap Rasanya?
Hampir
di seluruh pojok perumahan, perkampungan, perkantoran, sekolahan,
masjid ataupun mushola saling berlomba memotong hewan kurbannya, baik
itu kambing atau sapi. Hari Raya Idul Adha yang dirayakan oleh segenak
umat Muslim ini, baik yang sudah bergelar haji atau yang masih tidak
punya gelar, memang tidak semeriah Hari Raya Idul Fitri yang bisa
dirayakan seminggu penuh, bahkan beberapa daerah bisa merayakannya
selama sebulan. Akan tetapi, Hari Raya ini hanya dirayakan selama satu
hari. Yang special di hari ini adalah kebiasaan sejak zaman Nabi yaitu
memotong hewan kurban yang berarti seharian makan daging sampai enek.
Kebiasaan
makan daging seharian penuh itu dan bisa sampai berhari-hari – kalau
persediaan banyak sekali – mungkin bisa dibilang sudah menjadi tradisi
masyarakat Indonesia. Baik yang muslim ataupun non muslim, karena di
lingkungan rumah saya yang lama, tradisi kurban tidak dilakukan sesuai
dengan tujuan awal perintah kurban itu sendiri, yaitu memberikan
kesempatan kepada fakir miskin untuk merasakan daging, melainkan
berkurban dan dibagikan kepada para tetangga sendiri yang notabene-nya
bukan fakir miskin. yaaahh.. yang penting judulnya kurban. :D
Tetapi
saya pikir, di lingkungan rumah saya yang baru saat ini, tradisi kurban
sudah cukup sesuai dengan yang diperintahkan. Karena di sana masih
terdapat cukup banyak orang-orang menengah ke bawah. Meskipun begitu,
orang yang berkurban, tetap mendapat bagian daging yang cukup banyak.
Saya tidak tahu pasti karena baru tahun ini keluarga saya berkurban di
lingkungan rumah baru dan baru tahun kemaren saya menghabiskan Hari Raya
Idul Adha di rumah sendiri – sejak merantau kuliah ke Jogja – tentunya.
Dan
tahukan anda, betapa ngenesnya saya karena harus berlebaran di
perantauan yang tidak menyediakan daging untuk anak kost-kostan? tidak
ada daging, yang mentah ataupun yang sudah matang. Ditambah lagi dengan
hampir sebagian besar tutup. Semakin menambah jengkel dan mangkel karena
kelaperan dan tidak tahu mau makan apa. ckckckck…
Sebenarnya
dari 3 tahun waktu saya di Jogja, tahun pertama saya mendapat daging
dari om saya. sementara tahun kedua, saya terpaksa ngungsi pulang
kampong karena Merapi yang sedang tidak bersahabat dengan seluruh
penduduknya, dan tahun ini, saya tidak meminta ke om saya dan akhirnya
terdampar di kost-kostan dengan teman sepenanggungan sependeritaan. Dan
berakhirlah kami di Carrefour dan pasar tradisional mencari daging ayam
untuk diopor. Yah, setidaknya masih ada yang dimakan dan sedikitnya
masih ada sisa-sisa perasaan berlebaran. Walaupun agak maksa, sie.
Tidak
ada keharusan memang Idul Adha berarti makan daging. Tetapi karena
kentalnya tradisi yang sudah dilakukan semenjak kecil dan rasanya sudah
dibiasakan, oleh karena ketika tradisi dan kebiasaan tersebut luput
terlewatkan, terasa sedikit hambar dan seperti jadi bukan lebaran.
Padahal kita semua tahu sama tahu apa sebenarnya makna lebaran itu
sendiri. Bukan soal makanan, bukan soal uang THR, bukan tentang baju
baru. Lalu apakah tentang kebersamaan? Tidak juag kalau dalam konteks
anak kost yang jauh dari keluarga dan tidak bisa pulang. Atau mungkin
tentang menjadi ‘mereka’? Orang-orang yang mungkin tidak seberuntung
dengan kita? Orang-orang yang pada Hari Idul Adha mendapatkan daging dan
kebersamaan dengan keluarga, sementara kita dihadapkan pada kesendirian
dan harus mencari makan seadanya? well,
apapun itu, saya pikir, setiap kejadian, setiap apapun yang Dia berikan
untuk kita alami, pasti ada maksud dan makna tertentu. Dan apapun itu,
bersyukur sajalah. Tidak ada daging, ayampun jadi. Tidak ada sate
kambing, rending pun jadi ( yang akan dikirimkan beberapa hari kemudian.
hahaha)
Komentar
Posting Komentar