Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2017

Hobi Kopi

Buat saya, kopi adalah kebiasaan. kebiasaan yang ketika tidak kamu lakukan, maka akan menimbulkan dampak dampak meresahkan. seperti ada sesuatu yang hilang. kalau pada diri saya, dampak yang terjadi adalah pusing dan lidah seperti ada yang kurang. beberapa tahun belakangan ini, kopi menjadi selebritis dunia yang dielu elukan hampir di jagad dunia. mulai dari coffee shop dengan lapak terlihat maupun coffee shop yang hanya menerima pesanan melalui Go-Food. selebritas ini lahir dengan berbagai macam nama. Sagaleh, Animo, Tuku, Kalima, dan macam macam lainnya dengan predikat yang sama kopi kekinian. sejauh ini, rasanya sama. tetap terbuat dari biji kopi. hanya campurannya yang berbeda beda. ada yang creamy sekali, ada yang flat sekali rasanya, ada yang terlalu manis, ada yang terlalu pahit, ada yang cocok di lidah saya, ada yang biasa saja. tapi ditengah kopi kekinian itu semua, saya tetap lebih suka kopi bikinan sendiri. takarannya sudah pas dengan jari saya dan lidah saya. haha.

to tie the know

saya mau menuliskan tentang pernikahan. sebuah kata sakral yang menghantui saya selama beberapa waktu terakhir ini. dulu, ketika saya masih tinggal bersama orangtua, di komplek, saya sering mendengar orang orang tua berbicara tentang anak-anak mereka yang akan menikah. "sudah lulus sekolah, sudah sama-sama bekerja, mau apalagi sih?" jadi kesan yang tertanam dalam diri saya saat itu, once kamu bekerja dan punya penghasilan sendiri, kamu bisa menikah. itu batasannya. ya, dan sekarang saya berada pada batasan itu. saya sudah lulus kuliah, saya sudah bekerja dan alhamdulillah bisa membiayai hidup saya sehari sehari sendiri dan dalam usia yang (sebenarnya) pantas untuk menikah. tapi yang saya justru sadari sebagai seorang perempuan yang sudah cukup matang, ada banyak hal yang justru muncul sebagai batasan untuk memutuskan menikah. atau setidaknya batasan itu muncul dari dalam diri saya sendiri. menikah, bukan hanya persoalan seorang perempuan berumur matang dan sudah b

Empat

Tidak ada hal lain yang diinginkan Daniel kecuali sampai di rumah dan memastikan keadaan Sara. Ia tidak pernah meninggalkannya selama ini. Dan ia begitu khawatir. Emosinya sudah teredam. Tergantikan dengan cemas mendalam. Begitu sampai di garasi mobilnya, Daniel bergegas keluar. Ia sedikit lega karena sepeda motor Sara ada di dalam garasi juga, dan itu berarti gadis itu ada di rumah. Tapi lampu rumah masih semuanya menyala. Bahkan ruang tamu dan ruang tivi. Sa? Saraaa? Panggilnya. Jam 7 pagi dan biasanya Sara sudah pindah tidur di depan televisi. Dengan segelas milo panas. Tidak ada sahutan. Daniel segera menuju kamar Sara. Tidak terkunci. Dibukanya perlahan pintu itu. Ia menarik napas lega. Gadisnya tengah tertidur nyaman membelakanginya. Daniel tersenyum, menyenderkan tubuhnya ke kusen kayu pintu. Dibalik kemarahannya, ia tidak memungkiri rasa kangennya teramat besar pada istrinya. Ingin sekali ia memeluknya sekarang juga. Melompat ke tempat tidur dan memeluk erat Sa