Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

411

Jadi, 4 November kemarin, di hari Jumat cerah ceria dan mendung, di gadang-gadang sebagai hari bersejarah umat Muslim Indonesia dikarenakan adanya aksi damai yang diikuti hampir 500 ribu orang dari segala penjuru Indonesia. tujuan utama adalah Istana Presiden. Saya tidak membicarakan isu apa yang melatarbelakangi aksi damai tersebut, tapi saya hanya akan membagi pengalaman pertama saya berkantor di tengah kota Jakarta yang dilalui jalan-jalan utama dengan situasi siaga I. diulang SIAGA 1 sejak seminggu sebelumnya, kantor saya sudah menyebarkan email informasi terakit kegiatan aksi ini beserta rute-rute yang akan dilalui, sistem buka tutup pintu gedung, dan sebagainya. bahkan management di kantor saya mengkhusukan dapat tertutup bersama para Dept. Head terkait kegiatan BCP yang akan dilancarkan. Pertama, bawa baju ganti dan makanan siap saji sebagai jaga-jaga kalau-kalau situasi memanas dan terpaksa bermalam di gedung kantor. bahkan kantor sudah menyiapkan sleeping bag. Kedua, p

Tiga

Tidak aktifnya ponsel Sara membuat laki-laki itu panik. Tidak pernah sekalipun Sara mematikan ponselnya. Daniel keras untuk itu. Dan Sara tahu itu. Bahkan ketika mereka bertengkar ringan, tidak pernah Sara mematikan ponselnya. Mau gua cariin tiket pulang, buddy? Seakan tahu kecemasan di wajah sahabatnya, Ferdi langsung mengontak salah satu maskapai penerbangan dan memesankan satu tiket untuk Daniel. Yang malem udah habis. Jadi gua ambil yang paling subuh besok buat elu. Jam 5.45 berangkat. Daniel mengganguk. Makasih banyak, Fer. Oke, sekarang daripada lo cemas kayak gini, belum tentu juga istri lo kenapa-kenapa, ayok kita jalan. Udah 3 hari lo semedi. Sekarang saatnya turun gunung. Gua tahu tempat buat ngopi yang paling enak di sini. 

perpisahan

entah berapa kepergian yang saya lalui dengan tetap bekerja, melanjutkan apa yang detik itu sedang saya lakukan. sambil dengan berusaha keras menahan gemuruh di hati dan lautan air mata yang mendobrak ingin keluar. entah berapa perpisahan yang tidak mampu saya datangi langsung. untuk sekedar berdoa di pinggir peristirahatan terakhir mereka. berbagi tangis dan kesedihan bersama para saudara. mengenang kebaikan dan momen yang tidak akan kembali terulang selamanya. ya, saya sedih. mengakui itu bagian dari hidup saya sekarang. resiko anak perantauan yang memilih bekerja dan hidup jauh dari lingkaran keluarga, dari kampung halaman. yang perlu lebih dari satu jam untuk berlari pulang begitu berita itu dikabarkan. ya, saya menyesal. mengakui saya tidak pernah mampu menjadi sandaran, meminjamkan bahu dan memberikan pelukan menenangkan kepada orang-orang tersayang saya, yang hati jauh lebih hancur berkeping-keping. sejujurnya saya tidak punya hak untuk bilang saya paling sedih, karena k

another year to pass

tepat seminggu yang lalu, 14 Agustus 2016, hari Minggu yang mendung dan akhirnya hujan deras, saya berusia 26 tahun. masih dengan status lajang bahagia dan belum kepingin mendua, masih pegawai bank swasta dan mulai ada keinginan mencoba pekerjaan baru lainnya, masih hobi tidur dan bahkan akhir-akhir ini jadi sering kebablasan enggak tahu aturan kalau badan sudah kecapean. pastinya, saya masih anak ingusan yang baru belajar cari uang sendiri, hidup mandiri, dan bersikeras beliin bapak ibu macem2 dan bertekad won't let them suffer. bapak sama ibu harus bahagia di hari tua. selama 26 tahun ini, saya bersyukur saya mulai bisa sedikit demi sedikit mendobrak zona tidak nyaman saya untuk mengikuti dan mencoba apa yang - tersembunyi di sudut hati paling dalam - sesungguhnya ingin saya lakukan. atau setidaknya sekali seumur hidup saya. meski beberapa orang akan berpikir sebaliknya. masih banyak daftar hal-hal yang dulu tidak sempat atau tidak mampu saya lakukan karena berbagai alasa