Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2012

kecewa

siapa yang tidak pernah kecewa? entah dikecewakan, ataupun mengecewakan. mau sengaja, atau bahkan enggak sengaja. berapa lamapun kamu hidup, seberapa baiknya kamu, seberapa positifnya kamu memandang hidup. pasti ada saat-saat kamu kecewa, dengan orang lain, dengan sesuatu, dengan hidup. saya termasuk orang yang sering kecewa. sepele alasannya. saya adalah orang yang paling tidak bisa dijanjikan sesuatu. pasti saya kejer sampai dapet. sampai yang dijanjikan benar-benar diberikan. kalau tidak, ngambek. dulu. belum tahu ada hubungannya atau tidak, tapi hidup merantau selama 4 tahun lebih, telah merubah saya drastis. khususnya dalam hal yang satu ini. kecewa. bukannya saya jadi jarang kecewa. tapi saya lebih cuek memandang kecewa. seminggu! tidak lebih. dikecewakan pacar, dikecewakan teman, bahkan dikecewakan saudara. tidak boleh lebih dari seminggu dan tidak boleh marah-marah. saya lebih mudah memaafkan ketidakpastian di dalam hidup. janji adalah ucapan dari seorang manusia. d

mas

mimpi adalah bunga tidur. tidak ada yang bisa menebak malam ini kita mau mimpi apa. tapi saya memiliki arti mimpi adalah imajinasi. saya berimajinasi saat akan tidur dan saya namakan mimpi. walaupun akan terhenti begitu saya tertidur dan hilang kendali atas alam bawah sadar saya. saat berimajinasi, kita bisa melakukan apa saja, bertemu siapa saja, dan jadi apa saja. bebas. namanya juga imajinasi, kan? tapi dari sekian banyak kesempatan untuk menjadi apapun itu namanya, dari sekian banyak kebebasan memilih, saya selalu terjebak pada karakter seorang adek dari kakak laki-laki. sejak dulu, entah kenapa saya selalu pengin punya kakak laki-laki. berapapun jumlahnya. itu mungkin salah satu alasan kenapa saya dan kakak perempuan saya jadi sering berantem dulu. karena keinginan kami berbeda. saya kepengin kakak laki-laki, dia kepengin adik laki-laki. kecocokan dan ketidakcocokan, kan? untuk saya, punya kakak laki-laki menjadi semacam obsesi dan menimbulkan hal negatif. ketika saya

yang (ternyata) berharga

Belum pernah sebelumnya saya begitu amat sangat bangga dengan RAMBUT saya, yang kata teman-teman tebal. Walaupun tidak asli lurus. Tapi saya suka dan sayang. Entah kenapa tiba-tiba saya pengin potong poni dan larilah saya pada partner saya. Dia bukan tukang cukur profesional tapi pengalaman selama KKN, potongan dia ke rambut saya cukup memuaskan. Dan percayalah saya. Poni, fix! Masih ada sedikit waktu sebelum pendadaran teman saya, dan oke, "di slayer dong rambutnya, biar enggak lurus banget gini. Rata pula ujungnya." Dan begitu selesai... eng ing eng. Ternyata dia tidak hanya melakukan slayer tapi juga menipiskan. SAYA KAN ENGGAK MINTA DITIPISIN!!!! Asli... pengen banget saat itu juga saya nangis ngeraung-raung di depan dia minta rambut saya dibalikin. Tapi enggak mungkin kan? Dan, sekarang, saya males banget ngeliat rambut saya sendiri. Dibotakin aja sekalian gimana? Kemarin, saya down dan saya pikir akan gila. Sekarang saya masih galau. Gak tau sampai kap

Proses

Di keluarga besar bapak saya, ada sebuah tradisi atau budaya atau kegiatan rutin atau apalah, apapun namanya silahkan namakan sendiri. Tapi kalau kami menyebutnya Proses. Yup, proses. P-R-O-S-E-S. Bisa dibilang keluarga besar bapak saya termasuk keluarga santri. Punya landasan agama yang kuat. Punya pesantren juga malah. Tapi tidak tahu bagian keluarga atau silsilah  keluarga yang sebelah mananya. Terlalu banyak silsilah, terlalu banyak anggota, terlalu rumit. Saya saja tidak kenal semuanya. Di Jawa Timur, tepatnya Pasuruan, ada salah seorang paman yang mengajar atau punya sebuah yayasan atau padepokan yang mempelajari ilmu kebatinan. Menyucikan hati, pikiran dan badan. Bisa punya indra keenam juga katanya. Ada satu atau dua ning (sebutan untuk mbak) yang memang dari sananya sudah punya indra keenam dan mengasahnya di padepokan tersebut. Dan ada salah satu ning saya yang - katanya - sangat 'bersih'. Belum pernah menikah dan sangat suci. Dan disinilah awal mula proses

Undefined

Sulit untuk menyebutkan satu kata yang bisa mendefinisikan dan menggambarkan mereka. Pengemis? kesannya kog, terlalu vulgar dan relatif kasar. Tapi ya, saya mau bicara soal mereka. Dulu, saya tidak se- concern ini memandang mereka, dari kacamata mahasiswa dan orang biasa. Saya tidak terlalu perduli dan lebih sering merasa kasihan. Dari mulai anak-anak, remaja, setengah tua, hingga yang tua renta mengemis di sepanjang jalan dan lampu merah. Hampir di seluruh pelosok negeri ini. Dulu. Sekarang. Jumlahnya semakin banyak dan tidak lagi terpusat di jalan-jalan besar dan lampu merah. Tapi di sepanjang jalan hingga merambah perumahan. Perspektif saya masih menerima pada mereka yang mengemis dengan modal. Maksudnya: menggunakan sedikit usaha, seperti menari, main musik a.k.a pengamen atau pemain musik jalanan, atau sulap atau topeng monyet. Karena itu saya definisikan sebagai kerjaan. Pekerja jalanan. Tapi saya tidak habis pikir dan masih belum bisa menerima manakala mereka hanya du

Hari Ulang Tahun = Bersyukur

Gambar
Tidak tahu sejak kapan, saya terjebak pada common sense sebagian besar masyarakat bahwa hari ulang tahun itu penting, patut diingat setiap tahun, khususnya orang-orang terdekat. Sehingga menjadi dosa besar ketika teman, pacar, orang tua, sengaja atau tidak sengaja, lupa. Padahal merayakan hari ulang tahun sama halnya merayakan pengurangan usia. Semakin tua, semakin dekat dengan Yang Kuasa. Tapi tidak ada salahnya juga merayakan hari ulang tahun sebagai bentuk syukur masih diberikan umur. Dan rasa syukur tidak perlu ramai-ramai. Sejak TK sampai SMA mungkin, setiap tahun keluarga selalu merayakan hari ulang tahun saya, entah dengan membuatkan kue ulang tahun super enak (ibu saya juara kalo bikin kue! :D) dan mengundang teman-teman, atau hanya membelikan saya sesuatu yang saya minta, biasanya pakaian. Tapi sejak saya kuliah dan mayoritas hari ulang tahun saya tidak dirayakan di rumah karena masih berada di Yogya, lambat laun saya merasakan perubahan makna secara total. Ja

:))

Gambar
1 tahun yang lalu, kita mengadakan diskusi dan mendapatkan kesepakatan. Kita menolak disebut jadian. Kamu, aku adalah partner, bukan pacaran. Kita melakukan banyak hal bersama, bukan sekedar teman nonton dan makan. Kita mencoba saling mengerti hidup lewat sudut pandang masing-masing. Kita saling mendorong untuk membuka banyak pintu kesempatan. Aku, kamu, adalah partner segala bidang Aku, kamu, tidak hanya ada saat kesulitan Aku, kamu, berbagi kebahagian. Impian kita tidak muluk-muluk Aku, kamu, semoga mampu melewati semua Jarak bukan apa-apa Aku, kamu, semoga menjadi partner hidup Selamat Hari Kesepakatan, Partner..

Being Invisible

Kurang lebih 3 tahun saya bergabung dalam suatu yayasan yang bergerak di bidang pendidikan lewat mainan tradisional dari berbagai belahan dunia sebagai volunteer. Dan selama itu pula saya memilih dan terpilih untuk menjadi invisible , tidak kasat mata. Kemalasan dan kesibukan lainnya menjadi salah satu alasan kenapa saya beberapa kali tidak bisa datang ketika ada pertemuan penting, semi penting sampai yang enggak penting a.k.a hura-hura. Tapi saya pastikan untuk sebisa mungkin saya hadir ketika waktu bekerja saya datang. Komitmen saya mungkin tidak sebesar volunteer lainnya, tapi saya berusaha untuk menunaikan apa yang menjadi tanggung jawab saya. Tapi ada satu hal yang kemudian saya memutuskan untuk tetap menjadi invisible di hadapan the owner . Beberapa kali ketika pertemuan besar, beliau menganggap bahwa beberapa volunteer tidak berkomitmen pada yayasan ini dengan tidak bekerja sesuai dengan yang diharapkan dan selalu terdepan ketika kegiatan enggak penting. Apalagi sa

Kacau Galau

Partner saya galau akut malam ini Saya menemukan dia lebih dari satu tahun yang lalu. Paling menyeruak diantara 25 anak KKN lainnya. Meski yang paling kecil dan (sok) jaim, tapi dia hadir. Entah kenapa, paling ada di depan mata. 14 Agustus 2011, tepat malam ulangtahun saya, kami membuat kesepakatan. Bukan jadian. Kami menolak mainstream itu. Kami jalan bersama atas dasar ingin saling mengenal dan masing-masing penasaran satu sama lain. Kami partner. Partner naik gunung, partner kemping di pantai, partner bikin tugas, partner makan pagi siang sore, partner latihan presentasi, partner hunting lokasi eksotik baru, mudah-mudahan menjadi partner hidup. Amin. Partner saya orang yang paling totalitas, kata paling sopan untuk menggambarkan ke-gila-an dia. Dia mencoba segalanya total. Dari mulai ketua persatuan mahasiswa se-Cirebon, menteri advokasi BEM FTP UGM, vokalis spesialis lagu underground dan bertugas "scream", dia coba wall climbing, naik gunung berasa joging bahkan Mer

a big fan of crying

all is well.. all is well.. Saya yang memang geblek atau kelewat naif, tapi kata-kata itu memang cuman sekadar naskah dialog sebuah film yang menjerumuskan saya pada impian terlepas dari kegiatan rutin "menangis". Saya pikir dengan mengucapkan kata-kata itu sambil mengelus-elus dada maka stok air mata yang sudah sampai pelupuk mata bakalan hilang atau kembali mengalir turun menjadi air kencing. Tapi enggak tahunya, saya malah semakin pengin nangis karena ngerasa desperate sampe harus ngikutin saran film yang udah pasti nonsense. Yang mustinya ditiru dalam sebuah film adalah maknanya, bukan cara mereka meredakan masalah. Bukannya mau pamer bahwa saya cengeng, tapi yah, menangis sudah menjadi semacam daily activities 3 kali seminggu atau bahkan lebih. Padahal dalam seminggu bisa saja saya selalu merasa bahagia dan hidup baik-baik saja. Atau bisa saja dalam seminggu ketika rutin 3 kali menangis, belum tentu sisanya saya happy happy luar dalam. tapi seriusan, saya bisa sa

The Last Battle after 4 Years of being Collage Student

Gambar
Hari Rabu, 10 Oktober 2012 merupakan salah satu hari bersejarah buat say. Hari yang saya takuti sejak masuk SMA dan mengenal frasa sidang skripsi atau ujian pendadaran, atau apapun namanya yang pasti artinya sama: dibantai! Baik UAN SMP, UAN SMA, dan terakhir sidang SKRIPSI merupakan 3 hal yang paling saya takuti semenjak menjejak jenjang pendidikan tinggi dan otak mulai mencerna arti ujian yang sebenarnya: persaingan. Dulu, yang saya suka baca di buku-buku novel remaja, film-film televisi remaja, sidang skripsi pasti menjadi titik klimaks pendidikan seorang mahasiswa yang punya aura horor. Harus menunggu di luar ruang sidang setelah sebelumnya bergelut selam setahun atau lebih dengan skripsi, masuk ke dalam ruangan yang besar dengan 3 dosen penguji membawa skripsi kita dengan tampang siap menjagal setiap omongan kita, presentasi kurang lebih 15 menit (khususnya buat saya yang gugup-an kalau bicara di depan banyak orang) di depan para dosen penguji, dan terakhir menjawab semua kome

Lawu, sebuah perjalanan menghadap alam

Gambar
Menjejak Gunung Lawu adalah pengalaman keempat saya dalam menjelajah hutan serta alam dan menantang kekuatan fisik saya sendiri. Setelah sebelumnya Gunung Arjuna di Jawa Timur, Merbabu di Jawa Tengah, dan Merapi. Seperti yang selalu partner saya bilang, perbedaan ketinggian tiap gunung tidak akan menjami ketahanan fisik kamu melewatinya. Seberapapun rendahnya gunung itu, ia besar untuk keanekaragaman hayatinya. Ia berbeda untuk jalur pendakiannya, ia gagah untuk setiap perubahan alam yang terjadi setiap waktunya. Jadi intinya, jangan meremehkan alam, khususnya Gunung. Untuk mencapai kaki Lawu yang terletak di Karang Anyar, saya dan keempat teman saya harus menempuh perjalanan selama lebih dari 3 jam, plus plus. plus kesasar, plus berenti makan, plus berenti lihat pemandangan. Sebenarnya ini pendakian pertama yang beneran tanpa persiapan 2-3 hari sebelumnya. Bahkan niat mau naik aja baru kepikiran malemnya. Sekitar jam 7 malem, setelah meng-cancel agenda kemping di pantai karena m

one of my bad habit that still can not be deleted

i hate my self for this feeling i hate my self for refusing to understand i hate my self for letting my self to envy i hate my self for being so childish i hate my self for being hurt of my self i hate my self for having this unwanted habit i hate because i never had someone like you before, even i have you now.

(tepat) waktu?

Seminggu lebih yang lalu saya menjahitkan baju saya di sebuah binatu kecil pinggir jalan. tidak ada alasan khusus terkait pemilihan binatu mau yang mana, yang murah, yang dekat, yang bagus. alasan saya kesana karena partner saya sudah pernah kesana, daripada harus cari-cari yang lain dan hitung kancing? saya menjahit sebuah long dress sedengkul dengan kain dari Realia, kain untuk seragam. kata ibunya seminggu sudah akan selesai dan saya setuju. seminggu waktu yang cocok, saya pikir. seminggu kemudian lebih sehari, saya datang dan ibunya bilang, "wah, belom jadi, mbak. kemaren bilangnya ora kesusu, kan to ? (enggak keburu-buru)" akhirnya ibunya menjanjikan hari selasa depan. Oke, masalahnya adalah : enggak keburu-buru bukan berarti enggak tepat waktu kan? bukan berarti enggak dikerjain kan? ini sebenernya masalah tradisi orang Jawa yang sangat "toleransi" atau memang orang Indonesia punya masalah dengan waktu? kalau sifat seperti ini dipertahanin dan diha