to tie the know

saya mau menuliskan tentang pernikahan. sebuah kata sakral yang menghantui saya selama beberapa waktu terakhir ini.

dulu, ketika saya masih tinggal bersama orangtua, di komplek, saya sering mendengar orang orang tua berbicara tentang anak-anak mereka yang akan menikah. "sudah lulus sekolah, sudah sama-sama bekerja, mau apalagi sih?"

jadi kesan yang tertanam dalam diri saya saat itu, once kamu bekerja dan punya penghasilan sendiri, kamu bisa menikah. itu batasannya.

ya, dan sekarang saya berada pada batasan itu. saya sudah lulus kuliah, saya sudah bekerja dan alhamdulillah bisa membiayai hidup saya sehari sehari sendiri dan dalam usia yang (sebenarnya) pantas untuk menikah.

tapi yang saya justru sadari sebagai seorang perempuan yang sudah cukup matang, ada banyak hal yang justru muncul sebagai batasan untuk memutuskan menikah. atau setidaknya batasan itu muncul dari dalam diri saya sendiri.

menikah, bukan hanya persoalan seorang perempuan berumur matang dan sudah bekerja bertemu dengan laki laki matang yang sudah bekerja lalu memutuskan, ayo hidup bersama!

tidak, di kepala saya, ada banyak sekali faktor yang membuat saya berpikir ribuan kali hingga saya yakin mau membawa diri ini ke jenjang yang begitu tinggi dan penuh kekompleksitasan itu.

pertama, rumah. untuk saya, selain pekerjaan, saya butuh rumah untuk menjamin selepas hari pernikahan, saya masih punya tempat untuk pulang selain rumah orangtua. dan pastinya, kos kosan bukan tempat yang tepat untuk tinggal sepasang suami istri.

biaya menikah, menjadi prioritas kedua ketika saya sudah memiliki sebuah rumah untuk saya sendiri. pernikahan memang entah sejak kapan menjadi ajang para orangtua memamerkan kesuksesan diri mereka pribadi juga anak-anaknya. tidak jarang para anak yang menikah, terlebih menghabiskan masa kuliah dan bekerja di luar kota, sama sekali tidak mengenal para tamu undangan yang datang dan bersalaman serta cipika cipiki dengan mereka di atas panggung. mereka semua adalah rekanan, kenalan, teman ayah dan ibu sejak SD hingga bekerja, tetangga kanan kiri dan para handai taulan jauh yang tidak terlacak peta keluarga.

namun begitu, pesta pernikahan menjadi hal yang wajib untuk dipikirkan karena menjadi salah satu hal yang bisa membuat orangtua bahagia, jadi, saya memasukkan biaya pesta pernikahan dalam salah satu jenis tabungan saya (yang sayangnya, kemungkinan besar akan terpakai untuk DP beli rumah), well, gaji saya sebulan enggak terlalu besar kalau harus dipakai untuk membiayai keduanya dalam waktu 3-5 tahun bekerja.

keyakinan, keyakinan bahwa saya mampu bertukar setengah jiwa, membagi waktu dan pikiran untuk saling mengurusi masalah masing-masing. keyakinan ini yang sampai sekarang masih naik turun, pasang surut dalam hitungan detik. membuat saya tidak bisa sekalipun mengambil keputusan untuk menikah atau tidak menikah dalam waktu dekat.

pernikahan merupakan jalan menuju berbagai masalah lainnya. dibandingkan dengan keadaan saya saat ini. lajang dan digaji tetap tiap bulan. masih sanggup bayar kos kosan dan beli baju serta makan tanpa lihat harga, kenyamanan apalagi yang saya ingkarkan?

tapi pernikahan menjadi jalan untuk saya memberikan kebahagiaan lebih pada orangtua. menuntaskan tugas mereka dan memberikan cucu cucu untuk mereka peluk. untuk mereka pamerkan pada instagram atau ketika acara acara keluarga.

perdebatan ini masih akan terus berlangsung entah hingga kapan.

tapi sungguhlah pertanyaan kapan nikah, menjadi pertanyaan paling pahit dalam acara keluarga dan sunnguh saya tidak suka.

seakan apa yang saya raih selama ini, lulus tepat waktu, mandiri, bekerja dan tidak merepotkan orangtua, tidak berarti apapun ketimbang segera menikah meski bekalmu belum cukup untuk membina sebuah rumah tangga.

yah. cukup sekian perdebatan dalam hati saya sendiri.

mungkin akan ada perdebatan lainnya di lain waktu. faktor faktor lainnya yang membuat keyakinan saya terus naik turun.

hahaha.

ciao!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

selamat berkurang umur

Roti Goreng Isi Coklat