awul-awul, bukan sekadar berburu sandang murah
Pasar Malam Sekaten |
Sekaten yang diselenggarakan setiap tahun baru Islam ini bukan hanya menyuguhkan pasar malam dan hiburan murah meriah bagi para menengah dan mahasiswa rantauan, yang terdiri dari berbagai wahana permainan dengan lampu kelap-kelip dan suara jedam jedum, tetapi juga menyuguhkan suatu wahana yang dijamin lebih seru daripada bianglala yang supercepat dan atraksi motor miring. Awul-awul!!
Pasar Awul-awul |
Walaupun stand-stand sandang murah tidak hanya bisa kita datangi sewaktu Sekaten saja, melainkan ada beberapa toko yang berada di seputaran Jogja, tetapi sensasi berebutan sandang murah tersebut jauh lebih terasa saat kita melakukannya di Sekaten. Apabila kita pergi ke toko-toko sandang murah yang ada di pinggir jalan dan buka setiap hari, harga baju-baju dan celana sudah dipatok sekitaran 10-20 ribu-an. Bisa lebih, jarang bisa kurang.
Berbeda dengan di Sekaten, pada hari-hari menjelang penutupan, kita bahkan bisa mendapatkan 3 potong pakaian dengan harga 10 ribu. Tidak jarang pula, pada hari terakhir para penjual benar-benar menurunkan harga sampai serendah-rendahnya, yaitu 1000 rupiah per potong. Bayangkan uang 1000 rupiah yang ibaratnya untuk beli makanan saja tidak akan membuat kenyang, bisa dipakai untuk membeli sebuah kemeja.
Kalau berfikir bahwa awul-awul adalah pakaian bekas yang tidak layak pakai, kemungkinan anda salah. Karena sebenarnya, pakaian yang dijual di awul-awul tidak semuanya adalah pakaian bekas. Sebagian adalah pakaian yang tidak lagi mode dan tidak terjual sehingga menumpuk di gudang. Meskipun benar pakaian tersebut adalah pakaian impor dari Singapura, Jepang, Korea, China, dan lainnya. Dan beberapa dari pakaian tersebut justru sangat layak pakai.
Percayalah, karena seorang teman memiliki koleksi kemeja seribuan yang sudah dicuci dan disetrika dan terlihat sangat mahal dan memang bermerk terkenal. Tidak lagi nampak tanda-tanda bekas berburu di awul-awul.
Sebenarnya kita bisa saja mendapatkan pakaian bagus dan sekelas dengan yang ada di mall-mall, tergantung kecakapan kita memilih dan mengubek-ngubek tumpukan awul-awul yang tingginya bisa sampai hampir menyentuh atap stand.
Tidak dapat disalahkan kalau sebagian orang menganggap berburu di awul-awul adalah sebagian dari kegiatan penurunan kasta dan gengsi. Karena harus mengubek-ngubek pakaian bekas pakai dan sebagian juga sudah kotor serta bertempat di stand-stand yang kurang tertata.
Tapi yang selama ini saya sadari semenjak ikut hanyut dalam proses ubek-mengubek tersebut adalah ketagihan. Kegiatan itu sama sekali tidak menurunkan kasta. Karena sebagian orang yang ikut serta mengubek-ubek itu pun justru sanggup untuk membeli di mall-mall dan tidak jarang shopping sebulan lebih dari beberapa kali.
Bisa dibilang awul-awul sudah terasa seperti salah satu budaya di kota budaya ini, jogjakarta. Mungkin bukan budaya asli, tapi yang jelas, ini adalah budaya yang ditularkan oleh teman saya selama saya merantau di kota tercinta ini. Budaya yang memberikan sensasi berebutan dan kemenangan tersendiri saat menemukan sebuah pakaian yang murah dan sangat layak pakai.
Jangan merasa gengsi ataupun malu untuk ikutan melestarikan budaya berebutan sandang murah. Karena pertama kali pun saya tidak sebegitu tertarik tapi begitu melihat teman memakai baju yang dibelinya dengan seribu rupiah dan saya mendapatkan pakaian bagus hanya dengan harga kurang dari 10 ribu rupiah, percayalah anda akan ketagihan dan nekad mengubek-ubek tumpukan dengan semangat 45!
So, tunggu apa lagi? Semakin dekat dengan hari penutupan, semakin harga tidak rasional, lho!
Komentar
Posting Komentar