"Kehangatan Lorong Sarkem"
Januari, 2012
"Kehangatan Lorong Sarkem"
Itu adalah nama dari salah satu kegiatan pada serangkaian acara BIENNALE JOGJA XI - EQUATOR #1 SHADOW LINES: INDONESIA MEETS INDIA. Saya menganggap kegiatan inilah yang paling WAOW! dan beda, dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lain yang tidak jauh dari apresiasi budaya, sepertri Pameran, Sendratari, Diskusi Seniman, sampai bagi-bagi komik gratis di terminal.
Merasa sangat tertarik tapi sempat kecewa juga karena lewat status seorang teman di jejaring sosial, saya baru tahu kalau ternyata - meskipun di kalender program dituliskan gratis dan untuk umum - tetap harus mendaftar terlebih dahulu.
Tapi akhirnya, pada malam hari H, secara tidak disangka dan disengaja, saya dan pacar saya jadi terjebak dalam antrian pembagian kelompok menuju losmen dengan masing-masing didampingi oleh seorang PSK.
Kegiatan memang diagendakan hanya berlangsung selama kurang lebih 30 menit plus jalan kaki pulang pergi. Yaitu semua peserta dibagi kedalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5-6 orang peserta. Kemudian tiap kelompok akan diantar oleh seorang PSK masuk ke dalam sebuah gang menuju penginapan/losmen dimana seorang PSK lainnya akan menunggu di dalam kamar tempat ia biasa "bekerja". Gang tersebutlah yang dinamakn SARKEM.
Mungkin bagi sebagian orang, SARKEM bukanlah sesuatu yang baru bahkan jauh dari kata tabu. Tapi bagi saya yang kurang pengalaman dan menolak
mencari tahu dan ingin tahu dari hal-hal yang tidak membuat saya nyaman, SARKEM hanya saya kenal sebagai sebuah lokalisasi, tanpa pernah tahu dimana persisnya tempat itu berada. SARKEM tidak lebih hanya tempat dimana laki-laki datang untuk ehem-ehem.
Di dalam berukuran sekitar 3x3 meter tersebut, kami diajak berbicara dan sharing tentang apa itu SARKEM dan apa yang selama ini berlangsung di dalamnya. PSK yang menjadi narasumber kelompk saya (sebut saja mbak "A") enggan menyebut SARKEM sebagai area lokalisasi. Ia lebih suka menamakannya perkampungan, karena tempat itu memang berada di sebuah gang yang sarat dengan rumah-rumah penduduk yang berhimpitan dan mereka memang hidup berdamping dengan para penduduk tersebut. Selayaknya tetangga yang hidup bergotong royong, tapi dalam kondisi penginapan dan penduduk disini, saya lebih melihatnya sebagai simbiosis mutualisme. Penginapan yang membutuhkan penjagaan agar tidak digerebek tiba-tiba dan penduduk yang bertindak sebagai pengaman yang mendapatkan pemasukan dari para pengunjung berhidung belang atau anak kecil yang terlalu cepat dewasa dan mahasiswa kurang kerjaan. Yang pasti keduanya saling melengkapi, melindungi dan saling bertukar keuntungan.
Berbagai latar belakang - dari motif ekonomi sampai tindak kekerasan dan pemerkosaan di masa silam, rentang tarif, pelanggan, sampai dimana lokasi biasanya mereka "mangkal", menjadi obrolan kami selama kurang lebih 20 menit. Sempat juga mbak "A" berkaca-kaca ketika menceritakan tentang keluarganya dan anak-anaknya yang akhirnya tahu bahwa ibunya adalah seorang pelacur.
Setelah 20 menit bertukar pendapat dan ketukan di pintu beberapa kali yang menandai selesainya sesi kami, kami dipersilahkan keluar kamar dan kembali ke pos pertama berkumpul. Sebelumnya masing-masing dari kami diberi souvenir dengan tas kertas. Di luar perkiraan, ternyata isi souvenir tersebut adalah beberapa pamflet mengenai seks bebas, pentingnya penggunaan dan tata cara menggunakan kondom, dan macam-macam penyakit menular yang terjadi akibat pergaulan laki-laki dan wanita, serta 3 buah kondom! Kirain makanan...,
JGERRRRR!!!! sedikit shock saya membolak-balik 3 bungkus kondom merk terkenal tersebut. Jujur saja saya belum pernah melihatnya secara langsung, walaupun saya akui saya penasaran dan selalu ingin tahu tapi tidak berani. Tapi begitu salah seorang teman saya membukanya, tidak kepalang saya jadi geleng-geleng kepala. Entah kenapa malu sendiri. Sedikit perasaan risih dan jijik. Karena tahu, kan.., benda itu harus dipakai dimana, oleh siapa, dan dalam keadaan apa.
Pemakaian kondom memang menjadi salah satu prasyarat sebelum melakukan
seks. Hal itu diutarakan oleh mbak "A" dalam obrolan. Dan dia juga mengatakan bahwa pemakaian kondom juga digunakan sebagai bargaining position mereka. Jadi kalau pelanggan tidak berminat memakai kondom, PSK bisa menolak, dengan alasan keamanan dan kesehatan. Meskipun begitu, seorang narasumber lainnya dari kelompok berbeda bilang bahwa dia justru memakai kondom baru setelah 3 tahun bekerja sebagai penjaja seks.
Sejauh ini saya masih bingung alasan pasti dari kegiatan menyusuri lorong gang Sarkem dan obrolan itu sendiri. Apakah dalam rangka promosi Sarkem? Kampanye penggunaan kondom? Atau menceritakan sisi lain kebudayaan yang ada di Joga lewat Sarkem yang lokasinya sendiri tidak jauh dari Keraton?
Yang jelas, Sarkem tidak bisa dipisahkan dari kehidupan cepat kota Jogja. Bahkan dari kebudayaan dan daya tarik kota wisata ini. Setiap berkunjung ke Jogja, anda bahkan bisa menemukan satu plang yang berdiri bersisian dengan plang Jalan Malioboro belok kiri, yiatu Sarkem. Seperti sebuah bentuk pengesahan akan eksistensi tempat ini. Dan meskipun Sarkem sendiri adalah nama sebuah jalan yang merupakan akronim dari Pasar Kembang. Ya, kembang-kembang kota yang memilih menjajakan tubuh demi uang tidak seberapa. Dan jangan salahkan mereka, karena ini bagian dari pilihan hidup. Kalau ada pilihan yang lebih baik untuk mendapatkan uang dengan cepat, mungkin mereka akan memilih jalan lain.
Sampai sekarang, saya dan pacar saya masih sedikit merasa jengah, dan obrolan mengenai kegiatan beberapa hari yang lalu hanya bertahan selama 2 hari. Mungkin kami sama-sama risih, mungkin kami memang menurup dasarnya innocent, mungkin karena selama ini kami menutup mata dengan kehadiran mereka.
Tapi kita berdua sama-sama menyadari mereka bagian dari masyarakat, mereka bagian dari lingkaran pertemanan, karena sebagian dari mereka mungkin adalah pelanggan tetap dan penyedia jasa yang notabene-nya adalah teman kita sendiri.
"Kehangatan Lorong Sarkem"
Itu adalah nama dari salah satu kegiatan pada serangkaian acara BIENNALE JOGJA XI - EQUATOR #1 SHADOW LINES: INDONESIA MEETS INDIA. Saya menganggap kegiatan inilah yang paling WAOW! dan beda, dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lain yang tidak jauh dari apresiasi budaya, sepertri Pameran, Sendratari, Diskusi Seniman, sampai bagi-bagi komik gratis di terminal.
Merasa sangat tertarik tapi sempat kecewa juga karena lewat status seorang teman di jejaring sosial, saya baru tahu kalau ternyata - meskipun di kalender program dituliskan gratis dan untuk umum - tetap harus mendaftar terlebih dahulu.
Tapi akhirnya, pada malam hari H, secara tidak disangka dan disengaja, saya dan pacar saya jadi terjebak dalam antrian pembagian kelompok menuju losmen dengan masing-masing didampingi oleh seorang PSK.
Kegiatan memang diagendakan hanya berlangsung selama kurang lebih 30 menit plus jalan kaki pulang pergi. Yaitu semua peserta dibagi kedalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5-6 orang peserta. Kemudian tiap kelompok akan diantar oleh seorang PSK masuk ke dalam sebuah gang menuju penginapan/losmen dimana seorang PSK lainnya akan menunggu di dalam kamar tempat ia biasa "bekerja". Gang tersebutlah yang dinamakn SARKEM.
Mungkin bagi sebagian orang, SARKEM bukanlah sesuatu yang baru bahkan jauh dari kata tabu. Tapi bagi saya yang kurang pengalaman dan menolak
mencari tahu dan ingin tahu dari hal-hal yang tidak membuat saya nyaman, SARKEM hanya saya kenal sebagai sebuah lokalisasi, tanpa pernah tahu dimana persisnya tempat itu berada. SARKEM tidak lebih hanya tempat dimana laki-laki datang untuk ehem-ehem.
Di dalam berukuran sekitar 3x3 meter tersebut, kami diajak berbicara dan sharing tentang apa itu SARKEM dan apa yang selama ini berlangsung di dalamnya. PSK yang menjadi narasumber kelompk saya (sebut saja mbak "A") enggan menyebut SARKEM sebagai area lokalisasi. Ia lebih suka menamakannya perkampungan, karena tempat itu memang berada di sebuah gang yang sarat dengan rumah-rumah penduduk yang berhimpitan dan mereka memang hidup berdamping dengan para penduduk tersebut. Selayaknya tetangga yang hidup bergotong royong, tapi dalam kondisi penginapan dan penduduk disini, saya lebih melihatnya sebagai simbiosis mutualisme. Penginapan yang membutuhkan penjagaan agar tidak digerebek tiba-tiba dan penduduk yang bertindak sebagai pengaman yang mendapatkan pemasukan dari para pengunjung berhidung belang atau anak kecil yang terlalu cepat dewasa dan mahasiswa kurang kerjaan. Yang pasti keduanya saling melengkapi, melindungi dan saling bertukar keuntungan.
Berbagai latar belakang - dari motif ekonomi sampai tindak kekerasan dan pemerkosaan di masa silam, rentang tarif, pelanggan, sampai dimana lokasi biasanya mereka "mangkal", menjadi obrolan kami selama kurang lebih 20 menit. Sempat juga mbak "A" berkaca-kaca ketika menceritakan tentang keluarganya dan anak-anaknya yang akhirnya tahu bahwa ibunya adalah seorang pelacur.
Setelah 20 menit bertukar pendapat dan ketukan di pintu beberapa kali yang menandai selesainya sesi kami, kami dipersilahkan keluar kamar dan kembali ke pos pertama berkumpul. Sebelumnya masing-masing dari kami diberi souvenir dengan tas kertas. Di luar perkiraan, ternyata isi souvenir tersebut adalah beberapa pamflet mengenai seks bebas, pentingnya penggunaan dan tata cara menggunakan kondom, dan macam-macam penyakit menular yang terjadi akibat pergaulan laki-laki dan wanita, serta 3 buah kondom! Kirain makanan...,
JGERRRRR!!!! sedikit shock saya membolak-balik 3 bungkus kondom merk terkenal tersebut. Jujur saja saya belum pernah melihatnya secara langsung, walaupun saya akui saya penasaran dan selalu ingin tahu tapi tidak berani. Tapi begitu salah seorang teman saya membukanya, tidak kepalang saya jadi geleng-geleng kepala. Entah kenapa malu sendiri. Sedikit perasaan risih dan jijik. Karena tahu, kan.., benda itu harus dipakai dimana, oleh siapa, dan dalam keadaan apa.
Pemakaian kondom memang menjadi salah satu prasyarat sebelum melakukan
seks. Hal itu diutarakan oleh mbak "A" dalam obrolan. Dan dia juga mengatakan bahwa pemakaian kondom juga digunakan sebagai bargaining position mereka. Jadi kalau pelanggan tidak berminat memakai kondom, PSK bisa menolak, dengan alasan keamanan dan kesehatan. Meskipun begitu, seorang narasumber lainnya dari kelompok berbeda bilang bahwa dia justru memakai kondom baru setelah 3 tahun bekerja sebagai penjaja seks.
Sejauh ini saya masih bingung alasan pasti dari kegiatan menyusuri lorong gang Sarkem dan obrolan itu sendiri. Apakah dalam rangka promosi Sarkem? Kampanye penggunaan kondom? Atau menceritakan sisi lain kebudayaan yang ada di Joga lewat Sarkem yang lokasinya sendiri tidak jauh dari Keraton?
Yang jelas, Sarkem tidak bisa dipisahkan dari kehidupan cepat kota Jogja. Bahkan dari kebudayaan dan daya tarik kota wisata ini. Setiap berkunjung ke Jogja, anda bahkan bisa menemukan satu plang yang berdiri bersisian dengan plang Jalan Malioboro belok kiri, yiatu Sarkem. Seperti sebuah bentuk pengesahan akan eksistensi tempat ini. Dan meskipun Sarkem sendiri adalah nama sebuah jalan yang merupakan akronim dari Pasar Kembang. Ya, kembang-kembang kota yang memilih menjajakan tubuh demi uang tidak seberapa. Dan jangan salahkan mereka, karena ini bagian dari pilihan hidup. Kalau ada pilihan yang lebih baik untuk mendapatkan uang dengan cepat, mungkin mereka akan memilih jalan lain.
Sampai sekarang, saya dan pacar saya masih sedikit merasa jengah, dan obrolan mengenai kegiatan beberapa hari yang lalu hanya bertahan selama 2 hari. Mungkin kami sama-sama risih, mungkin kami memang menurup dasarnya innocent, mungkin karena selama ini kami menutup mata dengan kehadiran mereka.
Tapi kita berdua sama-sama menyadari mereka bagian dari masyarakat, mereka bagian dari lingkaran pertemanan, karena sebagian dari mereka mungkin adalah pelanggan tetap dan penyedia jasa yang notabene-nya adalah teman kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar