si bapak penjual empek-empek
ada satu sosok, seorang bapak-bapak, dengan usia yang sepertinya sudah sangat manula.
saya tidak kenal dia. bicara pun belum pernah seingat saya.
tapi entah kenapa, dia seringkali tertangkap ujung mata.
dia seorang penjual empek-empek keliling. berjalan bermil-mil membawa kerangjang berisi empek-empek bikinan sendiri (saya rasa) di tangan kanan, dan sebauh jerigen berisi cuko di tangan kiri.
sejak saya SD sampai sekarang saya lulus universitas dan kembali ke kampung halaman, saya masih melihat si bapak berkeliling berjualan. sosoknya masih sama. tinggi menjulang dengan kulit berwarna coklat gelap, kurus, dengan rambut yang nyaris putih semua dan sebuah kupluk. masih sama seperti dulu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
entah komitmen, konsisten, kesetiaan atau memang tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukannya, tapi ia masih tetap awet berjualan empek-empek secara manual. berkeliling dari pagi sampai sore. meskipun sekarang penjual empek-empek sudah menjamur dimana-mana, dari yang enggak enak, sampai yang enak banget, tapi sepertinya bapak ini tidak perduli.
saya belum pernah bicara, beli pun kapan sudah lupa. jadi saya tidak tahu pasti alasan si bapak tetap bertahan sampai sekarang.
kadang merasa salut, terkejut, sekaligus miris. sebegitu tuanya masih juga pusing mecari uang.
tapi tidak bergunanya saya, saya tetap, masih hanya sebagai penonton setia.
saya tidak kenal dia. bicara pun belum pernah seingat saya.
tapi entah kenapa, dia seringkali tertangkap ujung mata.
dia seorang penjual empek-empek keliling. berjalan bermil-mil membawa kerangjang berisi empek-empek bikinan sendiri (saya rasa) di tangan kanan, dan sebauh jerigen berisi cuko di tangan kiri.
sejak saya SD sampai sekarang saya lulus universitas dan kembali ke kampung halaman, saya masih melihat si bapak berkeliling berjualan. sosoknya masih sama. tinggi menjulang dengan kulit berwarna coklat gelap, kurus, dengan rambut yang nyaris putih semua dan sebuah kupluk. masih sama seperti dulu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
entah komitmen, konsisten, kesetiaan atau memang tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukannya, tapi ia masih tetap awet berjualan empek-empek secara manual. berkeliling dari pagi sampai sore. meskipun sekarang penjual empek-empek sudah menjamur dimana-mana, dari yang enggak enak, sampai yang enak banget, tapi sepertinya bapak ini tidak perduli.
saya belum pernah bicara, beli pun kapan sudah lupa. jadi saya tidak tahu pasti alasan si bapak tetap bertahan sampai sekarang.
kadang merasa salut, terkejut, sekaligus miris. sebegitu tuanya masih juga pusing mecari uang.
tapi tidak bergunanya saya, saya tetap, masih hanya sebagai penonton setia.
Komentar
Posting Komentar