Lawu, sebuah perjalanan menghadap alam
Menjejak Gunung Lawu adalah pengalaman keempat saya dalam menjelajah hutan serta alam dan menantang kekuatan fisik saya sendiri. Setelah sebelumnya Gunung Arjuna di Jawa Timur, Merbabu di Jawa Tengah, dan Merapi.
Seperti yang selalu partner saya bilang, perbedaan ketinggian tiap gunung tidak akan menjami ketahanan fisik kamu melewatinya. Seberapapun rendahnya gunung itu, ia besar untuk keanekaragaman hayatinya. Ia berbeda untuk jalur pendakiannya, ia gagah untuk setiap perubahan alam yang terjadi setiap waktunya. Jadi intinya, jangan meremehkan alam, khususnya Gunung.
Untuk mencapai kaki Lawu yang terletak di Karang Anyar, saya dan keempat teman saya harus menempuh perjalanan selama lebih dari 3 jam, plus plus. plus kesasar, plus berenti makan, plus berenti lihat pemandangan.
Sebenarnya ini pendakian pertama yang beneran tanpa persiapan 2-3 hari sebelumnya. Bahkan niat mau naik aja baru kepikiran malemnya. Sekitar jam 7 malem, setelah meng-cancel agenda kemping di pantai karena minimnya jumlah peserta, akhirnya saya dan partner saya mendatangi 3 teman yang juga suka naik dan jadilah.. besoknya kita naik.
Pagi-pagi jam 8 kita kumpul di warung Burjo, khas Yogyakarta untuk persiapan termasuk packing ulang carrier masing-masing. Jam 10 tet akhirnya kita berangkat dengan sepeda motor.
Sekitar pukul 3 sore kita akhirnya sampai di basecamp pertama pendakian Lawu, yaitu Cemoro Sewu dan langsung mendapat kabar buruk. Akibat kebakaran hutan yang terjadi selama beberapa hari sebelumnya (karena musim kemarau panjang tanpa hujan sama sekali), pihak dinas kehutanaan menutup pendakian karena para pendaki dianggap ikut bertanggung jawab pada terjadinya kebakaran.
Setelah sempat hopeless dan memutuskan untuk makan siang dulu di salah satu warung. Udara yang dingin dan pemandangan yang oke banget (berani sumpah!) ditambah perjalanan panjang hingga berasa pantat menghilang, makanan ala kadarnya jadi terasa enaaaakkkk banget..
Perut kenyang dan ibadah sholat dhuhur lanjut ashar sudah dilaksanakan, kami memutuskan untuk kembali memastikan apakah masih bisa naik atau tidak, bersama beberapa rombongan lainnya yang juga ternyata sudah berunding alot sebelumnya. Dan sampai hampir jam 5 sore, izin belum juga di berikan.
Lewat seorang teman pendaki lainnya, diketahui bahwa lewat jalur lainnya yaitu Cemoro Kandang, diizinkan untuk naik sampai pos 2. Sesudah sempat berunding apakah akan lanjut naik atau cari tempat kemping lainnya di sekitaran Tawangmangu, mengingat hari sudah sore menjelang gelap.
1 jam kemudian....
Akhirnya kami memutuskan untuk mencoba naik walaupun hanya sampai pos 2, syukur-syukur fisik oke dan bisa lanjut pos-pos selanjutnya. :D
Ternyata perizinan di jalur Cemoro Kandang jauh lebih mudah. Jalur yang satu ini kurang begitu populer karena lebih jauh dan jalur dinilai lebih berat di bandingkan jalur resmi Cemoro Sewu yang jalurnya sudah di batu sampai puncak (katanyaaa...)
Pendakian dimulai sekitar pukul setengah 6 sore dan sampai di Pos 1 sekitar pukul 7 kurang.
Karena malam yang semakin larut, maka kami hanya istirahat sekitar 20 menit langsung melanjutkan perjalanan yang mulai menanjak, menerobos semak belukar dan melelahkan. Bahkan karena dingin yang semakin menusuk, salah satu teman saya yang punya masalah dengan pernapasan harus berusaha keras menahan sesak napas hingga akhirnya kami sampai di Pos 2, 2 jam lebih setelahnya.
Karena beberapa alasan, akhirnya kami memutuskan untuk tidak meneruskan pendakian dan kemping di Pos ke2 ini. Selain itu, sehubungan udara yang super dingin, dengan adanya bangunan seperti ini, membuat tenda dan api unggun kami terlindung dari angin dan membuat lebih hangat.
Awalnya, kami berencana untuk mendaki hingga puncak keesokan paginya, subuh kalau bisa. Tapi karena kelelehan yang amat sangat, kami baru bisa bangun sesudah subuh ketika matahari sudah tinggi. Akhirnya yang memutuskan untuk tetap naik hanya tiga teman kami. Itupun hanya mencapai Pos 3, karena waktu yang diberikan oleh petugas, kami sudah harus sampai di bawah lagi pukul 3 sore.
Ada beberapa hal yang menarik dari perjalanan menelusuri hutan belantara yang penuh dengan kejutan ini.
Yang pertama, pendakian kami mendapatkans seorang teman, yaitu seorang bapak-bapak asal Solo yang minta ikut naik dengan kami dan sampai kami pulang pun kami tidak tahu siapa namanya. Beliau jarang bicara dan saking misteriusnya bapak ini, sampai-sampai sekarang pun kita masih belum bisa mengerti maksud dan tujuan pendakian beliau. beberapa hal yang dilakukannya bisa dikatakan mengundang kecurigaan sendiri. Contohnya ketika ia meminta sholat berjamaah tapi di tempat yang gelap dan menolak menjadi imam. Bayangkan??? Malam-malam, angin kencang, udara menusuk, dan kanan-kiri hutan gelap gulita kami harus sholat. Jujur, seberani-beraninya saya, tidak sekalipun saya berani memikirkan apapun kecuali sholat ini cepat selesai dan masuk kembali ke dalam rumah.
Yang kedua adalah kondisi hutan di Gunung ini yang memprihatinkan dimana pohon kering di sepanjang perjalanan. Waktu jalan malam, saya pikir saya akan bertemu dengan sebuah hutan lebat dengan pohon saling bersilangan di atas kepala sehingga terlihat seperti terowongan alam. Namun kenyataanya, yang saya dapatkan adalah jalan tanah yang kering dan berdebu serta dahan-dahan kering yang rawan kebakaran.
Tapi sungguh, setiap perjalanan sungguh berarti.
Seperti yang bapak tersebut sempat katakan, "mendaki Gunung bisa dikatakan sebagai upaya prihatin, dimana kita harus bersusah payah jalan kaki naik turun dan membawa beban berat serta mengecil di tengah kebesaranNya, di tengah-tengah modernitas dan kemudahan sarana di dalam berbagai aspek kehidupan"
Lawu, September 2012
Seperti yang selalu partner saya bilang, perbedaan ketinggian tiap gunung tidak akan menjami ketahanan fisik kamu melewatinya. Seberapapun rendahnya gunung itu, ia besar untuk keanekaragaman hayatinya. Ia berbeda untuk jalur pendakiannya, ia gagah untuk setiap perubahan alam yang terjadi setiap waktunya. Jadi intinya, jangan meremehkan alam, khususnya Gunung.
Untuk mencapai kaki Lawu yang terletak di Karang Anyar, saya dan keempat teman saya harus menempuh perjalanan selama lebih dari 3 jam, plus plus. plus kesasar, plus berenti makan, plus berenti lihat pemandangan.
Sebenarnya ini pendakian pertama yang beneran tanpa persiapan 2-3 hari sebelumnya. Bahkan niat mau naik aja baru kepikiran malemnya. Sekitar jam 7 malem, setelah meng-cancel agenda kemping di pantai karena minimnya jumlah peserta, akhirnya saya dan partner saya mendatangi 3 teman yang juga suka naik dan jadilah.. besoknya kita naik.
Pagi-pagi jam 8 kita kumpul di warung Burjo, khas Yogyakarta untuk persiapan termasuk packing ulang carrier masing-masing. Jam 10 tet akhirnya kita berangkat dengan sepeda motor.
Sekitar pukul 3 sore kita akhirnya sampai di basecamp pertama pendakian Lawu, yaitu Cemoro Sewu dan langsung mendapat kabar buruk. Akibat kebakaran hutan yang terjadi selama beberapa hari sebelumnya (karena musim kemarau panjang tanpa hujan sama sekali), pihak dinas kehutanaan menutup pendakian karena para pendaki dianggap ikut bertanggung jawab pada terjadinya kebakaran.
jalur pendakian Cemoro Sewu, Lawu |
Setelah sempat hopeless dan memutuskan untuk makan siang dulu di salah satu warung. Udara yang dingin dan pemandangan yang oke banget (berani sumpah!) ditambah perjalanan panjang hingga berasa pantat menghilang, makanan ala kadarnya jadi terasa enaaaakkkk banget..
Perut kenyang dan ibadah sholat dhuhur lanjut ashar sudah dilaksanakan, kami memutuskan untuk kembali memastikan apakah masih bisa naik atau tidak, bersama beberapa rombongan lainnya yang juga ternyata sudah berunding alot sebelumnya. Dan sampai hampir jam 5 sore, izin belum juga di berikan.
Lewat seorang teman pendaki lainnya, diketahui bahwa lewat jalur lainnya yaitu Cemoro Kandang, diizinkan untuk naik sampai pos 2. Sesudah sempat berunding apakah akan lanjut naik atau cari tempat kemping lainnya di sekitaran Tawangmangu, mengingat hari sudah sore menjelang gelap.
1 jam kemudian....
Akhirnya kami memutuskan untuk mencoba naik walaupun hanya sampai pos 2, syukur-syukur fisik oke dan bisa lanjut pos-pos selanjutnya. :D
Ternyata perizinan di jalur Cemoro Kandang jauh lebih mudah. Jalur yang satu ini kurang begitu populer karena lebih jauh dan jalur dinilai lebih berat di bandingkan jalur resmi Cemoro Sewu yang jalurnya sudah di batu sampai puncak (katanyaaa...)
Pendakian dimulai sekitar pukul setengah 6 sore dan sampai di Pos 1 sekitar pukul 7 kurang.
Selter 1 Taman Sari Bawah (bukan saya :P) |
Karena malam yang semakin larut, maka kami hanya istirahat sekitar 20 menit langsung melanjutkan perjalanan yang mulai menanjak, menerobos semak belukar dan melelahkan. Bahkan karena dingin yang semakin menusuk, salah satu teman saya yang punya masalah dengan pernapasan harus berusaha keras menahan sesak napas hingga akhirnya kami sampai di Pos 2, 2 jam lebih setelahnya.
Selter 2 Taman Sari Atas |
Karena beberapa alasan, akhirnya kami memutuskan untuk tidak meneruskan pendakian dan kemping di Pos ke2 ini. Selain itu, sehubungan udara yang super dingin, dengan adanya bangunan seperti ini, membuat tenda dan api unggun kami terlindung dari angin dan membuat lebih hangat.
Awalnya, kami berencana untuk mendaki hingga puncak keesokan paginya, subuh kalau bisa. Tapi karena kelelehan yang amat sangat, kami baru bisa bangun sesudah subuh ketika matahari sudah tinggi. Akhirnya yang memutuskan untuk tetap naik hanya tiga teman kami. Itupun hanya mencapai Pos 3, karena waktu yang diberikan oleh petugas, kami sudah harus sampai di bawah lagi pukul 3 sore.
Ada beberapa hal yang menarik dari perjalanan menelusuri hutan belantara yang penuh dengan kejutan ini.
Yang pertama, pendakian kami mendapatkans seorang teman, yaitu seorang bapak-bapak asal Solo yang minta ikut naik dengan kami dan sampai kami pulang pun kami tidak tahu siapa namanya. Beliau jarang bicara dan saking misteriusnya bapak ini, sampai-sampai sekarang pun kita masih belum bisa mengerti maksud dan tujuan pendakian beliau. beberapa hal yang dilakukannya bisa dikatakan mengundang kecurigaan sendiri. Contohnya ketika ia meminta sholat berjamaah tapi di tempat yang gelap dan menolak menjadi imam. Bayangkan??? Malam-malam, angin kencang, udara menusuk, dan kanan-kiri hutan gelap gulita kami harus sholat. Jujur, seberani-beraninya saya, tidak sekalipun saya berani memikirkan apapun kecuali sholat ini cepat selesai dan masuk kembali ke dalam rumah.
Yang kedua adalah kondisi hutan di Gunung ini yang memprihatinkan dimana pohon kering di sepanjang perjalanan. Waktu jalan malam, saya pikir saya akan bertemu dengan sebuah hutan lebat dengan pohon saling bersilangan di atas kepala sehingga terlihat seperti terowongan alam. Namun kenyataanya, yang saya dapatkan adalah jalan tanah yang kering dan berdebu serta dahan-dahan kering yang rawan kebakaran.
Tapi sungguh, setiap perjalanan sungguh berarti.
Seperti yang bapak tersebut sempat katakan, "mendaki Gunung bisa dikatakan sebagai upaya prihatin, dimana kita harus bersusah payah jalan kaki naik turun dan membawa beban berat serta mengecil di tengah kebesaranNya, di tengah-tengah modernitas dan kemudahan sarana di dalam berbagai aspek kehidupan"
Lawu, September 2012
Komentar
Posting Komentar