Undefined

Sulit untuk menyebutkan satu kata yang bisa mendefinisikan dan menggambarkan mereka. Pengemis? kesannya kog, terlalu vulgar dan relatif kasar. Tapi ya, saya mau bicara soal mereka.

Dulu, saya tidak se-concern ini memandang mereka, dari kacamata mahasiswa dan orang biasa. Saya tidak terlalu perduli dan lebih sering merasa kasihan.

Dari mulai anak-anak, remaja, setengah tua, hingga yang tua renta mengemis di sepanjang jalan dan lampu merah. Hampir di seluruh pelosok negeri ini. Dulu.

Sekarang. Jumlahnya semakin banyak dan tidak lagi terpusat di jalan-jalan besar dan lampu merah. Tapi di sepanjang jalan hingga merambah perumahan.

Perspektif saya masih menerima pada mereka yang mengemis dengan modal. Maksudnya: menggunakan sedikit usaha, seperti menari, main musik a.k.a pengamen atau pemain musik jalanan, atau sulap atau topeng monyet. Karena itu saya definisikan sebagai kerjaan. Pekerja jalanan.

Tapi saya tidak habis pikir dan masih belum bisa menerima manakala mereka hanya duduk di pinggir jalan yang teduh pula, dengan baju comal comel menjurus kotor, tapi badan subur, dan memegang plastik atau wadah minuman plastik yang diangsurkan ke setiap pengendara motor/pejalan kaki yang lewat tanpa menggeser sedikitpun posisi duduk. What the hell??!!

Belum lagi dengan mereka yang hanya modal botol bekas minuman dengan receh di dalamnya dan menyanyi gak ada juntrungannya minus nada dan lirik mendekati setiap orang yang berdiri atau menunggu makanan, dan meminta uang.

Ada lagi yang menganggsurkan amplop lusuh yang ditulisi : "Tolong bantu saya untuk menyekolahkan adik dan membelikan adik saya buku", tapi setiap hari mangkal disitu.

Juga yang mangkal di suatu lampu merah setiap malam, dengan dandanan yang bisa dikatakan layak, dengan tas besar di punggung dan botol kosong di tangan, berputar di antara para pengendara meminta uang. Setiap malam, tempat yang sama.

Barusan saya juga bertemu dengan seorang ibu yang duduk ngegelosor di depan sebuah mini market dengan gelas plastik dan pakaian kumal, tapi gemuk. Setiap ada yang keluar dari dalam, ia menyorongkan gelas plastiknya. Sedikit terbersit rasa iba karena membayangkan ia sudah tua, tapi langsung bubar jalan begitu melihat ia mengeluarkan dua bungkus roti bermerk dan sebotol minuman teh. Makanan yang bisa dikatakn cukup punya harga dan tidak murah. Saya cuman geleng-geleng kepala. Antara iba dan mangkel.

Seorang teman saya, pernah melakukan sebuah penelitian pada fenomena sosial ini. Hasil yang ia temukan cukup membuat saya trenyuh dan shock. Bagaimana tidak? Kenyataannya terdapat sebuah desa yang mayoritas penduduknya memang menjadikan mengemis sebagai pekerjaan, lahan mata pencaharian sehari-hari. Mereka akan diantar oleh sebuah mobil dan diturunkan di suatu tempat, berganti pakaian, lalu menyebar. Dan ketika larut malam, mereka akan kembali dijemput. Tidak heran kalau sebenarnya, mereka jauh lebih kaya daripada kita yang memberi. Mereka punya rumah bagus dengan perabotan yang hampir komplit.

Fenomena seperti apakah ini?

Memberi memang jauh lebih baik daripada menerima. Tapi apakah memberi kepada yang seperti mereka masih bisa dikategorikan sebagai "baik"?

Saya selalu merasa miris manakala orang-orang yang justru berpanas-panasan di jalan, menari dengan atribut budaya, justru tidak mendapatkan uang sebanyak mereka yang hanya duduk di bawah pohon atau "nodong" orang-orang yang berdiri di pinggir jalan.

Apakah Indonesia sudah sebegitu kacaunya sehingga banyak penduduknya yang bahkan tidak mau berusaha lebih niat untuk mendapatkan uang? Selain meminta dari orang-orang hanya dengan modal gelas plastik dan kecek-kecek? Mereka bahkan tidak bisa menyanyi! Mereka bahkan lebih berisi! Tidak kurus pucat layaknya orang yang memang kekurangan makan.

Seberapa anjlok kah mental penduduk negeri ini?

Dulu, ketika saya masih tidak mengerti, saya selalu berpikir. Kalau memang mereka mengemis karena tidak punya uang betulan untuk beli makan, kenapa mereka harus lari begitu satpol pp datang? Bukankah di Yayasan mereka akan hidup lebih baik dan dapat makanan?

Tapi kini, melihat situasi ini, saya pikir kemalasan menjadi biang kerok utama. Kenapa harus susah-susah kerja dan putar otak? Kalau dengan kecek-kecek dan amplop saja sudah bisa dapat uang banyak. Cuman modal muka tebal saja, kan?

Miris.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

selamat berkurang umur

Roti Goreng Isi Coklat